Oleh : Ahmad Masy’ari, MA
Kasus Corona Covid-19 pertama terkonfirmasi pada 8 Desember 2019. Ini berdasarkan konfirmasi kasus oleh China, sebagaimana yang dimuat di situs laman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Pandemi virus corona yang melanda dunia belum menunjukkan tanda-tenda mereda. Update data, Per 12 April 2020, data menunjukkan bahwa Covid-19 sudah menyebar ke 210 negara, dan 1,7 juta orang dinyatakan positif. Sedangkan di Indonesia, Covid-19 ini pertama terkonfirmasi pada 02 Maret 2020, dan sampai 12 April 2020 sebanyak 4.241 pasien dinyatakan positif, dan 373 orang meninggal (https://tirto.id/).
Fakta dan data di atas menunjukkan penyebaran Covid-19 ini sangat cepat. Virus ini berpindah dari orang ke orang melalui tetesan kecil dari hidung atau mulut yang menyebar ketika seseorang batuk atau menghembuskan nafas, atau tetesan itu jatuh ke benda yang disentuh oleh orang lain. Orang tersebut kemudian menyentuh mata, hidung, atau mulut. Ditambah lagi Corona ini bisa menempel dan hidup di benda mati seperti besi, aluminium, kertas, plastik, kaca, kayu, pakaian, dan lain-lain dalam waktu 2-8 jam, di mana kita sangat susah untuk tidak berinteraksi dengan semua benda-benda mati ini, karena hampir semua sarana dan prasarana yang kita gunakan dalam keseharian kita terbuat dari benda-benda tersebut.
Jadi, kita harus ekstra hati-hari ketika kontak dengan siapapun, karena kita tidak pernah tahu persis orang yang positif terinfeksi atau bukan. Demam, kelelahan, dan batuk kering adalah gejala paling umum seseorang terinfeksi Covid-19. Beberapa pasien mungkin mengalami sakit dan nyeri, hidung tersumbat, pilek, sakit tenggorokan atau diare. Gejala-gejala ini bersifat ringan sehingga banyak orang yang tidak mengira bahwa dia terinfeksi covid-19. Namun ternyata banyak yang terinfeksi Covid-19 kadang tidak menunjukkan gejala-gejala umum tersebut. Makanya sangat sulit megetahui seseorang terinveksi Covid-19 atau tidak, kecuali setela didiagnosa. Orang yang terinfeksi walaupun tidak bergejala, dia tetap bisa menularkannya ke orang lain. Banyak mereka tidak sakit, atau sakitnya ringan, kemudian mereka beraktivitas di luar sebagaimana biasanya. Makanya Covid-19 ini penyebarannya yang sangat cepat sehingga menjadi lebih sulit dihentikan dibandingkan virus lain.
Bersinergi, Kita Bisa
Begitu cepat dan massifnya penyebaran Covid-19 ini, semua elemen bangsa sudah memberikan kontribusi sesuai proporsi masing-masing demi memerangi virus berbahaya ini. Ahli medis misalnya telah mengeluarkan protokol edukatif terkait Covid-19 yang dikemas dalam bentuk pamflet, video, audio, dan lain-lain sehingga masyarakat memiliki wawasan tentang virus yang menggemparkan dunia ini, baik itu pengenalan terhadap Covid-19, gejala-gejala, cara-cara tindakan preventif, dan lain-lain. Selain itu, ahli medis juga menjadi garda terdepan dalam menangani kasus-kasus dampak virus mematikan ini. Sementara dalam hal keagamaan -khususnya Islam- Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa bernomor: 14 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19 dengan berbagai dalil al-Qur’an, hadis, pendapat ulama klasik, serta konsiderannya lainnya. Begitu juga dengan pemerintah, telah menghimbau seluruh warganya untuk mengurangi aktivitas di luar rumah, tidak membuat perkumpulan, dan menjaga jarak dengan orang lain atau yang dikenal dengan social distancing, yang kemudian Presiden Jokowi membuat tagline “Bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan beribadah di rumah.” Pembatasan sosial (social distancing) juga dilakukan dengan meminta masyarakat untuk mengurangi interaksi sosial dengan tetap tinggal di dalam rumah maupun pembatasan penggunaan transportasi publik. Pembatasan sosial dalam hal ini adalah jaga jarak fisik atau yang belakangan populer dengan istilah physical distancing. Dalam Bahasa Indonesia, physical distancing diartikan sebagai “pembatasan fisik,” atau “jaga jarak fisik.”
Tugas kita semua sebagai elemen bangsa adalah bersinergi membantu pemerintah dan ahli medis dalam memerangi Covid-19 ini. Tanpa sinergitas semua anak bangsa, Covid-19 ini hampir dipastikan sangat sulit untuk ditaklukkan. Terkait tidak sinerginya semua elemen bangsa, kita bisa belajar dari kasus Covid-19 di Itali. Kasus pertama di Itali tanggal 31 Januari 2020. Hari ke-20 kasus positif sebanyak 20 orang, dan meninggal dunia 1 orang. Kemudian, hari ke-50, kasus positif sudah di angka 47.021 orang, dan yang meninggal sebanyak 4.032 orang. Di Indonesia, kasus pertama pada 2 Maret 2020. Hari ke-20 (22 Maret 2020) kasus positif sebanyak 514 orang, dan meninggal 48 orang. Dengan komparasi seperti ini, kira-kira berapa angka kasus positif dan meninggal pada hari ke-50 di negeri kita ini? Angka-angka ini baru fase awal, tapi datanya sudah jauh di atas Itali. Agar Indonesia tidak menjadi Itali-nya Asia, maka tidak ada pilihan lain kecuali mentaati himbauan pemerintah untuk tidak beraktivitas di luar rumah dan menjaga jarak dengan orang lain (fhysical ditancing) selama 14 hari. Para pemuka agama juga harus solid mendukung himbaun ini untuk tidak melaksakan shalat Jum’at dan shalat berjama’ah di Masjid sementara waktu. Melihat realisasi fatwa MUI terkait wabah Covid-19 pada Jum’at pekan lalu, masih banyak Masjid yang tidak mematuhinya dengan berbagai alasan, terutama alasan teologis. Ada yang tetap melaksanakan shalat Jum’at seperti biasanya, dan ada juga Masjid yang tidak melaksanakan shalat Jum’at, tapi tetap melaksanakan shalat Zuhur berjama’ah. Ini contoh bagaimana sebagian orang tidak bisa memahami maqashid al-syari’ah (ruh/ spirit sebuah hukum), sehingga gagal memahami sebuah instruksi secara lengkap. Substansinya bukan tidak boleh shalat Jum’at, juga bukan tidak boleh ke Masjid, tapi inti dari pesan itu adalah tidak boleh berkumpul atau berkerumun, sekalipun di Masjid. Tentu termasuk di kantor, pasar, sekolah, kampus, dan sebagainya.
Bentuk sinergi seluruh anak bangsa, bagi pedagang tidak melakukan penimbunan barang dan mengambil keuntungan dengan cara curang di saat kondisi sulit seperti sekarang ini. Sebagai masyarakat bisa, jangan menyebarkan hoax yang akan menambah kepanikan di saat suasana memang sudah panik ini. Kita sumbangkan apa yang bisa kita berikan untuk membendung virus yang mematikan ini.
Taati Pemimpin dan Ulama Kredibel
Banyak yang mengangap fatwa MUI terkait Covid-19 ini bertujuan menggembosi jamaah Masjid. Padahal dalam fatwa-fatwa tersebut sudah dijelaskan bahwa tujuannya adalah mengurangi penularan virus, itu pun bagi daerah yang tergolong sebagai zona yang rawan dan sulit untuk dikendalikan penyebarannya. Sedangkan bagi daerah yang masih belum tergolong rawan, dianjurkan untuk tetap shalat Jum’at dan shalat jamaah di Masjid dengan mengindahkan tindakan-tindakan pencegahan, di antaranya menggulung karpet Masjid, menghimbau jamaah untuk membawa sajadah sendiri, dan lain sebagainya. Kelompok-kelompok yang masih salah faham ini akhirnya menyebarkan hadis-hadis lemah (dhaif) bahkan palsu (maudhu’) tentang anjuran tetap ke Masjid walaupun ada wabah. Pada hal dalam disiplin Ilmu Hadis, hadis yang berkualitas lemah (dhaif) apalagi palsu (maudhu’) tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum.
Pada hal sebenarnya menurut penulis fatwa ini belum tegas, karena masih membedakan antara zona yang masih terkendali dan yang tidak terkendali (klausul nomor 5). Alasannya, status negara kita saat ini adalah pandemi, bukan epidemi lagi. Artinya, kita semua sudah dianggap sudah terpapar Covid-19 sehingga sangat sulit dibedakan siapa yang sudah terpapar dan siapa yang benar-benar steril dari virus berbahaya ini. Idealnya, selama Indonesia dinyatakan pandemi Covid-19, maka tempat ibadah ditutup, shalat Jum’at dan shalat jama’ah di Masjid ditiadakan. Kekurangtegasan ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk tidak menaati fatwa tersebut.
Negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim seperti Arab Saudi, Al-Jazair, Tunisia, Yordania, Kuwait, Uni Emirat Arab, Qatar, dan Mesir sudah terlebih dahulu menutup Masjid-masjidnya untuk shalat Jum’at dan shalat lima waktu berjama’ah, di mana di negara-negara tersebut merupakan gudangnya para ulama kaliber dunia. Ini demi percepatan pemutusan penyebaran virus berbahaya ini. Makin minim interaksi, maka makin minim kemungkinan sebaran virusnya. Larangan ke Masjid untuk Jum’atan atau shalat jama’ah bukan berarti merubah hukum shalat Jama’ah, di mana sebagian ulama mengatakan sunnah muakkad (sangat dianjurkan) dan ada juga yang berpendapat fardhu kifayah (kewajiban representatif). Namun shalat berjama’ah bisa jadi makruh bahkan haram, karena berpotensi menularkan wabah kepada orang lain. Jangankan TBC atau Covid-19, setelah makan bawang, jengkol, atau petai seseorang menjadi makruh (perbuatan yang sebaiknya tidak dilakukan) untuk ke Masjid. Makanya dalam fiqih, kita disunnahkan untuk mandi, menggosok gigi, dan memakai wewangian sebelum menghadiri ibadah yang sifatnya berkerumun (berjama’ah) seperti shalat Jum’at, shalat hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha, agar bau badan dan pakaian kita tidak mengganggu orang lain sehingga merusak kekhusyu’annya dalam beribadah. Apalagi karena status sekarang adalah pandemi Covid-19, di mana sangat sulit untuk mengidentifikasi siapa yang terinfeksi dan siapa yang steril.
Segala macam perbedaan (ikhtilaf) terkait larangan sementara Jum’atan dan shalat berjama’ah di Masjid ini tidak akan pernah ada jalan keluarnya, selama tidak ada satu pihak yang diakui bersama dan ditaati, yaitu pemerintah. Fatwa tentang terkait corona telah dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai quasi pemerintah. Salah satu produk hukum dari MUI yaitu fatwa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat Islam. Sejak 1975, MUI hadir untuk menjawab permasalahan umat Islam melalui fatwa. MUI dapat digolongkan sebagai lembaga quasi non govermental organization. Hal ini dapat terlihat dari tiga aspek, yaitu tugas dan wewenang, pendanaan, dan hubungan dengan pemerintah. Pengertian quasi non govermental organization adalah sebuah organisasi yang memiliki tugas utama untuk melaksanakan satu atau lebih fungsi kebijakan publik dan didanai oleh secara publik namun bekerja sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat, tanpa memiliki hubungan hierarkis secara langsung dengan departemen atau kementerian yang ada di atasnya. Fatwa Nomor 14 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaran Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19 ini merupakan produk ijtima’i (kolektif), bukan produk fardi (personal). Fatwa produk kolektif tentu akan lebih kuat dibandingkan dengan fatwa personal.
Dalam sejarah Islam, pihak itu adalah ulil amri atau pemerintah. Salah satu tugas pemerintah adalah menjadi penengah atas perbedaan diskursus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Peran ini harus diikuti oleh ikhtiar konkrit untuk melakukan upaya pendekatan menuju penyatuan dan kekompakan umat, agar ikhtiar pencegahan penyebaran Covid-19 ini membuahkan hasil optimal. Persoalan ini termasuk dalam kategori fiqh ijtima’i (ketentuan fiqih yang memiliki dimensi sosial), sehingga membutuhkan pengaturan ulil amri untuk kepentingan ketertiban. Dalam al-Qur’an telah disebutkan: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan pemimpin di antara kalian… (QS. An-Nisa’ [04]: 59). Dengan memperhatikan kandungan hukum dari ayat tersebut, pemerintah dalam hal perintahnya wajib dipatuhi dan dilaksanakan, selama perintah tersebut tidak menyuruh kepada kemungkaran.
Ayat di atas dijustifikasi dengan kaidah fiqhiyyah yang berbunyi: “Hukmu al-hakim ilzam wa yarfa’u al-khilaf (Keputusan pemerintah itu mengikat dan menghilangkan silang pendapat).” Berpijak dari ayat al-Qur’an dan kaidah fiqih di atas, masalah-masalah keagamaan yang mempunyai relasi dengan urusan sosial, apalagi kemanusiaan. Pemerintah berhak, bahkan wajib ikut campur dan memutuskan. Keputusan tersebut pada dasarnya bersifat memaksa (binding/ ilzam). Usaha pemerintah untuk menciptakan mashlahah ini memiliki relevansi dengan metode siyasah syar’iyyah, yaitu kebijakan penguasa (ulil amr) dalam menerapkan peraturan yang bermanfaat bagi rakyat dan tidak bertentangan dengan syariat. Hal ini juga sesuai dengan kaidah fiqih yang lain: “Tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bi al- mashlahah (Kebijakan pemimpin untuk rakyatnya bertujuan untuk kemaslahatan).”
Berdasarkan dalil dan kaidah di atas, walaupun awalnya dalam bentuk himbauan dan anjuran, jika dalam situasi yang mencekam seperti sekarang masih ada di antara masyarakat yang tidak mengindahkan himbauan pemerintah untuk tidak melakukan perkumpulan sementara waktu, maka aparat keamanan boleh dan sah melakukan penindakan, karena tindakan pemerintah adalah untuk menyelamatkan rakyat dan itu sama dengan menegakkan hukum. Dalam hukum, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.
Ahmad Masy’ari, MA
Dosen Agama Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Suska Riau